Berebut Untung Di Tanah Buntung

Agustus 20, 2022





Pos ulang dari tulisan Majalah Teraju, Edisi Maret 2011


Jakarta, 20 Maret 2011

Medio Januari 2008. Panas merambat naik, menusuk ubun-ubun. Saat itu jarum pendek jam di tanganku bergeser menuju angka sebelas. Kami melaju di atas sampan yang bergerak dalam aliran sungai Singingi yang menghilir ke arah Sungai Pauh. Sungai Pauh adalah sebuah desa yang berada di hilir Singingi. Tempat aliran Singingi bersatu dan masuk ke aliran Kampar Kiri. Kemudian dari Kampar Kiri air dari Singingi dibuang ke laut.



Sebelum berangkat kami menunggu agak lama di Pelabuhan Kotobaru. Disebut Pelabuhan Kotobaru, karena terletak di Desa Kotobaru. Di pelabuhan beberapa orang tengah menunggu sampan, sama seperti kami. Mereka adalah para lelaki paroh baya. Beberapa di antaranya bekerja di sepanjang Singingi.

Menjelang tengah hari, sampan pun datang. Kami dibawa sampan mesin oleh seorang tekong bernama Abe. Tekong adalah istilah yang dipakai untuk pengemudi sampan mesin. Tekong Abe, dikenal oleh penduduk sekitar sebagai tekong yang teliti, dan hati-hati. Ia juga dikenal sebagai tekong yang gesit dan tangkas dalam melewati arus sulit. “Bagus kalau kalian dibawa tekong Abe, dia aman dan hati-hati,” celetuk seorang bapak paruh baya pada kami.

Arus Singingi hari itu agak tinggi dari biasa. Musim penghujan yang terjadi akhir tahun lalu menyebabkan debit air sungai Singingi naik. Hal ini berarti dua hal untuk tekong Abe. “Kalau air pasang ada untungnya, sampan jadi tak kena tali-tali. Tapi untuk menghilir agak payah karena arusnya deras.”

Ketika menyusuri Sungai Singingi kami menemukan aktivitas yang berbeda dari sungai lainnya. Pada edisi lalu, Teraju pernah memuat tentang aktivitas penambangan emas di sepanjang Singingi. Dan benar, ketika kami melakukan investigasi secara langsung, bersampan menyusuri Singingi, semakin jelas di hadapan kami banyaknya aktivitas penambangan emas di lokasi itu.

Saat kami menyusur sungai keadaan airnya berwarna keruh. Awalnya kami berfikir warna yang keruh disebabkan naiknya permukaan air akibat hujan. Ternyata selain memang debit air naik, air keruh itu disebabkan aktivitas penambangan emas yang dilakukan masyarakat. Agak berbeda dengan yang pernah kami tulis dalam edisi lalu, di sepanjang perjalanan kami menemukan ada dua jenis penambangan emas yang dilakukan masyarakat. Ada di darat dan ada pula di air.

Penambanngan di air dilakukan di atas sebuah rakit. Di atas rakit itulah terdapat alat penyedot air, penyaring pasir, dan pemisah emas. Dulunya banyak masyarakat yang menggunakan mesin bermerk domfeng sehingga alat itu sekarang lebih akrab disebut dompeng.

Begitu banyak aktifitas penambangan yang kami temui di sepanjang perjalanan. Di satu lokasi kami menemukan lebih dari tujuh penambangan. Satu dengan lainnya terpisah dalam jarak sekitar dua sampai empat meter. Di satu desa tedapat rata-rata lebih dari sepuluh titik penambangan. Di tiga desa yang kami susuri terdapat sekitar 515 penambangan. Masing terdapat di Desa Petai 150 buah, Desa Sungai Paku 168 buah dan desa Koto Baru 197 buah. Jumlah ini kami dapatkan dari hasil penghitungan lewat penyusuran di sepanjang sungai. Jumlah ini tentu saja belum semua penambangan yang ada, sebab dalam perjalanan kami melihat ada beberapa tambang emas yang terletak di darat atau menjorok masuk di sepanjang anak sungai yang menghilir ke Singingi.

Satu dompeng biasanya diawaki empat sampai lima orang pekerja. Di sana ada yang bertugas sebagai pengendali pompa air, menyedot pasir dan air dari dalam sungai. Ada yang bertugas sebagai pengendali mesin pemisah pasir. Ada pula yang bertugas melakukan hal-hal kecil lain. Menurut tekong Abe kebanyakan pekerja tambang itu berasal dari Jawa, Jambi dan Kalimantan. Mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dalam penyedotan emas. Sebelum pindah ke Singingi ada pula pekerja yang sudah terlebih dahulu menguji ‘kepandaian” di Peranap. “Mungkin karena di Singingi hasilnya lebih menjanjikan makanya mereka banyak pindah kesini,” celetuk tekong Abe.

Lebih juah ia menjelaskan bahwa aktivitas penambangan emas di Singingi baru marak sejak berakhirnya lebaran idul fitri tahun 2007 lalu. Dia tidak tahu pasti penyebabnya apa. Tekong Abe menyebut bisa saja itu karena masyarakat Singingi baru diperkenalkan dengan mesin pencari emas. Sebelumnya masyarakat sepanjang Singingi ada juga yang mencari emas, tetapi itu masih tradisional dengan mendulang.
Banyaknya jumlah penambang emas di Singingi membuat tak ada tempat lagi bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas lain seperti memancing atau menangkap ikan.
Masyarakat yang dulunya menggunakan Singingi untuk mencari ikan menjadi kesulitan karena air semakin keruh. Apalagi dekatnya jarak antara satu tambang dengan tambang lain membuat ikan menjadi sulit ditangkap. Selain menyebabkan air keruh, penambangan emas dengan menggunakan mesin juga menyebabkan bunyi gaduh yang sangat besar sehingga ikan banyak lari. “Dulu memang ada orang menjala, sekarang apa yang akan dijala, ikan sudah tak ada,” terang tekong Abe.

Pengikisan dan Abrasi DAS Singingi

Bantaran sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penyangga ekosistem air, tentu saja menjadi penting. Namun, apa jadinya jika DAS itu sudah tergerus atau digerus seperti halnya di sepanjang DAS Singingi?

Dalam perjalanan hari itu kami menemukan fakta bahwa banyak aktivitas penambangan yang memanfaatkan tanah di sepanjang DAS Singingi untuk digali dan dicari emasnya. Hal ini tentu saja menyebabkan semakin lebarnya sungai Singingi, dan berkurangnya tanah DAS. Parahnya, kami melihat banyak aktivitas yang menyebabkan terbentuknya pulau-pulau pasir baru.

Di tiga pulau, seperti Pulau Dani terdapat 15 penambangan, Pulau Golopuong 17 penambangan dan Pulau Pondok 26 penambangan. Pembaca, jangan bayangkan bahwa pulau di sungai Singingi ini sama seperti pulau yang ada di laut atau di tengah Danau Toba, yaitu daratan yang dikelilingi air. Di Singingi masyarakat menyebut daratan datar dan berpasir di sepanjang Singingi sebagai pulau. Berbeda dengan DAS yang terus tergerus pulau-pulau di Singingi semakin hari justru semakin luas. Hal ini disebabkan aktivitas penambangan yang terus masuk ke darat sehingga luasnya gundukan pasir semakin besar.

Ketika kami berada di Sungai Paku, saya melihat sebuah Bane. Bane adalah rakit yang digunakan untuk menangkap ikan, yang di beberapa sudutnya dipasang jala dan pancing. Akan tetapi Bane yang kami lihat itu tidak lagi berfungsi dan didiami pemiliknya. Tidak ada tanda-tanda aktivitas penangkapan ikan disitu. “Dulu sebelum lebaran idul fitri tahun ini cuma yang dipakai, kalau sekarang mana ada orang yang mau mencari ikan, hasilnya sedikit,” jelas tekong Abe pada kami.

Lebih jauh tekong Abe yang sudah bertahun-tahun menjadi tukang perahu menjelaskan pada kami bahwa pengikisan di sepanjang Singingi sudah parah. “Semakin hari semakain luas saja tanah penggar sungai yang terjun,” lanjutnya. Hal ini akan berakibat terjadinya pendangkalan sungai yang bisa menyebabkan meluapnya air sungai. Selain itu abrasi juga menyebabkan rusaknya ekosistem yang ada di sepanjang sunagi, baik yang ada di pinggiran atau di dalam sungai seperti ikan dan siput. Sungai Singingi yang dulunya terkebal dengan siput sungainya yang lezat kini berangsur hilang seiring dengan banyaknya penambangan emas yang menjamur di sepanjang Singingi.

You Might Also Like

0 comments