Melawan Dominasi Partai

September 30, 2015

Sehari sejak Komisi Pemilihan Umum menyampaikan hasil verifikasi calon kepala daerah, waktu tidur Sudarmana berkurang drastis. Calon Wali Kota Cilegon dari jalur independen itu baru bisa tidur selepas tengah malam. Setiap hari ia harus bertemu langsung dengan pemilih. Apalagi saat ini ia tengah diserang kampanye hitam: Sudarmana calon boneka.
Sejak pertama kali mendaftar, ia bersama calon pendampingnya, Marfi Farzan Sudarmana, sudah diterpa isu dianggap sebagai calon boneka. Isu itu menguat lagi setelah pasangan ini dinyatakan lolos verifikasi. Ia dituding sengaja disiapkan sebagai calon bayangan oleh pasangan lawan untuk memastikan pemilihan Bupati Cilegon tak diundurkan hingga 2017. "Bahkan ada yang bilang kami dibayar. Saya katakan itu fitnah," ujar Sudarmana, Kamis pekan lalu. Ia mengaku sudah bergerilya mencari dukungan sejak 2013.
Ruang bagi perorangan maju lewat jalur independen memang telah dibuka sejak 2004. Namun, untuk menang dalam pilkada bukanlah perkara mudah. Tahun ini saja, dari 845 pasangan calon yang membuat deklarasi maju pada pilkada serentak 9 Desember nanti, hanya 165 pasangan yang sah terdaftar sebagai bakal calon.
Pada tahap awal, calon independen harus mengumpulkan dukungan riil yang ditunjukkan dengan salinan kartu tanda penduduk (KTP). Dukungan juga dilengkapi pernyataan dukungan dari warga. Jumlahnya minimal 4 persen dari total pemilih. Selain persentase, dukungan untuk calon independen harus tersebar merata di seluruh wilayah pemilihan.
Pada tahap akhir, yaitu masa kampanye hingga pemilihan, para calon independen pun harus berhadapan dengan mesin partai. Contohnya Sudarmana. Pada pemilihan bupati, ia dikepung sebelas partai politik pemilik 100 persen kursi DPRD. Mereka mengusung pasangan Wali Kota-Wakil Wali Kota inkumben Tubagus Iman Ariyadi-Edi Ariadi. Sebelas partai itu antara lain Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera, Gerakan Indonesia Raya, Nasional Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Demokrat.
Perlawanan ketat dari mesin partai juga dialami pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Lamongan, Nursalim-Edy Wijaya. Calon yang berlatar belakang pengusaha itu merekrut lebih dari 200 karyawan mereka sebagai tenaga inti tim sukses. Modal ini diharapkan bisa menyaingi mesin politik dari sembilan partai, di antaranya Golkar, Demokrat, PAN, PDIP, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa, yang mendukung pasangan bupati inkumben, Fadeli-Kartika Hidayati.
Calon independen lainnya yang maju di Lamongan adalah Mujianto-Muhammad Sueb. Rintangan maju tanpa partai bahkan sudah mereka alami sejak tahap pengumpulan berkas persyaratan. Untuk bisa mendapatkan dukungan, setiap malam selama tiga bulan penuh, mereka berkeliling ke berbagai tempat untuk mencari dukungan. Dari warung pinggir jalan, desa-desa, pasar tradisional, hingga kampung nelayan di pesisir utara Lamongan. Hasilnya, mereka bisa mengumpulkan KTP bukti dukungan dari 147 ribu penduduk.
Beban psikologis juga dialami pasangan ini. Menurut Sueb, sejak mendaftar ke KPU, mereka sering mendapat pesan pendek yang berisi ancaman dari nomor tak dikenal. Bahkan Mujianto pernah mengalami percobaan pembunuhan. Belakangan polisi menangkap pelaku dan menyatakan percobaan pembunuhan itu tak berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sueb memastikan insiden itu tak membuat semangat mereka kendur. "Kami tak akan mundur, apa pun risikonya," ujar Sueb kepada Tempo.
Nihil bantuan partai juga membuat calon perorangan mengandalkan kantong sendiri untuk membiayai operasional seluruh tahapan. Abriantinus, yang maju menjadi Wakil Wali Kota Balikpapan mendampingi Achdiansyah, mengatakan telah menghabiskan Rp 300 juta hingga masa pendaftaran calon. "Itu pun jumlahnya masih tak cukup," ujar Abriantinus.
Anggaran sebesar itu dihabiskan untuk biaya operasional tim sukses dan penggandaan KTP. Untuk keperluan administrasi, pasangan ini membeli dua mesin fotokopi dan mesin printer baru. Sayangnya, jorjoran fulus pada tahap pendaftaran itu tak membuahkan hasil bagi pasangan ini. Mereka harus tersingkir bersama 36 pasangan lainnya yang dinyatakan tak lulus tahapan verifikasi.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz, mengatakan para calon independen tak perlu cemas menghadapi pemilihan kepala daerah. Dibandingkan dengan calon dari partai, calon independen lebih unggul lantaran telah mengantongi dukungan riil. Bila bisa menaikkan jumlah dukungan hingga lima kali lipat, peluang untuk menang akan relatif besar. "Mereka bisa menjadi ancaman serius bagi partai," ujar Masykurudin.
Kendala utama calon independen hanya terletak pada minimnya mesin politik untuk berkampanye. Namun, menurut dia, modal sosial berupa kepercayaan pendukung bisa menjadi senjata ampuh untuk meluaskan dukungan. Hanya perlu waktu ekstra dan tenaga untuk merawat dukungan dan membangun komunikasi baru. WASIUL ULUM | SUJATMIKO | S.G. WIBISONO
Tak Mudah untuk Setia
Pernah terpilih sebagai kepala daerah lewat jalur independen, ternyata tak menjamin seseorang bakal maju lagi lewat jalur yang sama. Wali Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jonas Salean, misalnya. Jonas, yang moncer menjadi kepala daerah lewat jalur independen pada 2012, berencana maju lagi pada pemilihan bupati 2017 mendatang menggunakan perahu partai. "Sulit maju lagi dari independen, karena butuh biaya yang besar," ujar Jonas kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Faktor biaya, menurut Jonas, menjadi perhitungan, lantaran persyaratan maju lewat jalur independen semakin berat. Misalnya, kewajiban menyerahkan pernyataan di atas formulir bermeterai Rp 6.000 untuk melengkapi salinan KTP sebagai bukti dukungan dari setiap warga. Untuk maju di Kota Kupang, dibutuhkan minimal 50 ribu dukungan, sehingga perlu dana sekitar Rp 300 juta untuk biaya meterai saja.
Selain biaya ekstra, kepala daerah dari jalur independen, menurut Jonas, memerlukan energi ekstra. Mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk membangun komunikasi dengan politikus lintas partai di DPRD. Karena tak punya dukungan partai, ia terpaksa menemui langsung para anggota Dewan satu per satu.
Meski begitu, Jonas melanjutkan, tak semua pengalaman menjadi kepala daerah dari jalur independen pahit. Kesulitan hanya muncul pada tahap awal. Setelah berhasil membangun komunikasi, dia justru merasa lebih nyaman dalam menyusun program kerja. "Saya bisa fokus membuat program yang berorientasi menyejahterakan warga karena tak terikat utang budi dengan partai," ujar dia.
Jonas mengaku hingga saat ini belum ada program yang ditolak Dewan. Kalaupun ada perdebatan, biasanya hanya sampai tahap pembahasan. Menjadi kepala daerah dari jalur independen juga lebih tenang karena tak ada pihak yang menekan.
Akhirnya, hanya faktor finansial pada tahap awal yang membuat ia mantap meninggalkan jalur nyaman itu. "Kami akan melamar melalui parpol saat pilkada nanti. Tapi belum tahu lewat partai mana," katanya. IRA GUSLINA | YOHANES SEO

You Might Also Like

0 comments