Ratusan Peraturan Daerah Mengancam Publik

Agustus 20, 2015

Kalangan aktivis menilai ratusan peraturan daerah (perda) masih menjadi ancaman bagi kebebasan publik di berbagai wilayah. Koordinator Gerakan Perempuan untuk Indonesia Beragam, Dwi Rubyanti Khalifah, mengatakan peraturan itu tak hanya meru-
gikan perempuan, tapi juga
kelompok minoritas.


"Produk
hukum yang diskriminatif telah
menghambat perempuan dan
kelompok minoritas menda-
patkan akses terhadap sumber
. daya ekonomi, pendidikan, dan
kesehatan," ujar Rubyanti di
Jakarta, kemarin.

Menurut Ruby, ratusan
perda yang bermasalah itu
tersebar di 28 provinsi, anta-
ra lain Aceh, Sumatera Barat,
Bengkulu, Banten, Jawa Barat,
dan Sulawesi Selatan. Dia
mencontohkan Peraturan
Daerah Kota Bengkulu tahun
2014 tentang kewajiban bagi
seluruh pegawai negeri sipil
dan pelajar mengenakan busa-
na muslim selama Ramadan.

Aturan ini dinilai melanggar
Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terha-
dap Perempuan (CEDAW)
yang sudah dira tifikasi mela-
lui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984. Perda tersebut juga
bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia,
lantaran diberlakukan tanpa
memperhatikan agama dan
kepercayaan para pegawai
negeri.

Berdasarkan kajian Komisi
Nasional Perempuan, hingga
Agustus tahun lalu terdapat 365
aturan di daerah, baik dalam
bentuk peraturan, instruksi,
maupun edaran, yang men-
diskriminasi perempuan dan
kelompok marginal. Peraturan
itu berpotensi menimbulkan
kekerasan. Komnas Perempuan
mencatat, sepanjang 2014, ter-
dapat 290.266 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dido-
minasi kekerasan seksual akibat
belum adanya penghormatan
terhadap hak perempuan.

Aktivis Koalisi Perempuan
Indonesia, Dian Kartika Sari,
menyebut terbitnya perda
diskriminatif sebagai bentuk
ketidakpedulian pemerintah
daerah dalam memenuhi hak
warganya. Dalam penyusunan
perda, perempuan dan kelom-
pok marginal kerap tak dili-
batkan. Kalaupun ikut serta,
Dian melanjutkan, mereka
hanya dilibatkan pada tahap
awal penyusunan draf peratur-
an, tak sampai tahap finalisasi
rancangan.

Dian menilai Kementerian
Dalam Negeri tak serius dalam
mengontrol daerah dalam
mengeluarkan perda.Akibatnya,
setiap tahun selalu ada daerah
yang menerbitkan peraturan
diskriminatif.

Kepala Biro Hukum
Kementerian Dalam Negeri,
Widodo Sigit Pudjianto, mem-
bantah anggapan bahwa lem-
baganya tebang pilih dalam
mengevaluasi peraturan daerah.
Menurut Sigit, Kementerian tak
pernah membedakan mekanis-
me pengecekan dan pengawasan
terhadap setiap aturan daerah
yang didaftarkan.

"Prinsipnya
sama, semua perda kan untuk
masyarakat. Jadi, setiap yang
bertentangan pasti dibatalkan,"
ujar Sigit.

Menurut Sigit, tahun ini
Kementerian telah mengemba-
likan 139 perda yang terindikasi
bermasalah kepada pemerintah
daerah untuk segera direvisi.
Bila tak digubris, Kementerian
tak segan membatalkan
peraturan itu. Kementerian
meminta masyarakat melapor-
kan peraturan diskriminatif.

"Silakan dilaporkan, lengkap
dengan pasal-pasal yang diang-
gap bertentangan, agar segera
kami tindaklanjuti."

Tulisan ini terbit di Koran Tempo, 1 September 2015
   

You Might Also Like

0 comments