Ratifikasi Konvensi Rokok Dihadang Empat Menteri
September 05, 2014
Empat pucuk surat singgah di meja kerja Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam tiga bulan terakhir. Pengirimnya adalah empat menteri yang berkepentingan dengan rencana pemerintah meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC). Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang mengirim surat tersebut.
Surat berkop resmi itu sampai ke tangan Nafsiah tak lama setelah dia mengirim surat ke 18 kementerian terkait dengan rencana ratifikasi FCTC pada 18 Juni lalu. "Keempat surat itu intinya meminta kami mempertimbangkan kembali rencana ratifikasi," kata Nafsiah, Jumat pekan lalu.
Sudi Silalahi, dalam suratnya, meminta setiap kementerian menyatukan suara soal pentingnya ratifikasi sebelum benar-benar meratifikasi konvensi yang kini sudah diteken oleh 177 negara itu. M.S. Hidayat meminta Nafsiah mempertimbangkan nasib industri rokok lokal setelah ratifikasi.
Hidayat mengklaim setidaknya 6 juta pekerja-yang terdiri atas petani dan buruh industri rokok-bakal kena dampaknya bila pengendalian tembakau dilakukan. Muhaimin juga menyampaikan keberatan dari sisi perburuhan.
Nafsiah mafhum ihwal keberatan para koleganya di kabinet. Namun, menurut dia, kekhawatiran para menteri tak akan terjadi. Konvensi pengendalian tembakau yang diratifikasi mayoritas negara di dunia sejak 27 Februari 2005 itu, menurut dia, tak melarang dan mematikan industri rokok.
Isinya, kata dia, hanya mengantisipasi meningkatnya perokok pemula dan mencegah peningkatan penyakit akibat rokok. "Hanya ada pengaturan agar bahaya rokok bisa ditekan," ujar Nafsiah.
Tak mau membiarkan salah tafsir berlanjut, Nafsiah lantas mengirim surat balasan ke empat kementerian itu. Selain menekankan poin ratifikasi, ia menyarankan solusi jangka panjang menyelamatkan petani tembakau dan cengkeh. Misalnya, kata dia, dengan mendorong pemerintah menyiapkan industri alternatif berbahan baku tembakau dan cengkeh yang lebih bernilai ekonomi seperti parfum dan kosmetik.
Nafsiah pun mengundang para pejabat eselon I dari 15 kementerian dan lembaga untuk mendiskusikan untung-ruginya beleid pengendalian tembakau ini. Pertemuan lintas kementerian terlaksana pada 19 Agustus lalu di ruang Leimena Kementerian Kesehatan. Namun hasilnya buntu. Hingga kini belum ada persetujuan resmi dari pemerintah untuk segera meratifikasi FCTC.
Padahal, menurut Nafsiah, surat rencana ratifikasi sudah sampai di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia mengklaim Presiden mendukung rencana ratifikasi. "Fitnah kalau disebut Presiden dekat dengan industri rokok," kata dia.
Adapun Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun berkukuh pemerintah tetap dalam posisi melindungi industri rokok. "Jika industri rokok ditutup karena alasan kesehatan, jutaan orang akan menganggur," ujarnya.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Nurtantio Wisnu Barata memperkuat kekhawatiran Alex. Menurut dia, ratifikasi akan berdampak buruk pada industri rokok dalam negeri lantaran adanya larangan pengedaran rokok kretek yang beraroma seperti cengkeh.
Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hakim Sorimuda Pohan, menilai ucapan Nurtantio tak sepenuhnya benar. Menurut dia, tak ada pengaturan peredaran rokok kretek dalam naskah FCTC. "Itu menjadi kebijakan masing-masing negara," ujarnya.
Peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Widyastuti Soerojo, membantah ucapan Nurtantio. Menurut Widyastuti, berdasarkan pengalaman sejumlah negara yang sudah meratifikasi FCTC, ratifikasi tak berdampak buruk terhadap industri rokok.
Dia mengutip data Badan Pangan Dunia (FAO), setelah meratifikasi FCTC, justru produksi tembakau sejumlah negara naik. Produksi tembakau di Cina, misalnya, naik dari 38 persen pada 2002 menjadi 42,8 persen pada 2010 dari total produksi dunia. Di Brasil, produksi tembakau naik dari 10,3 persen menjadi 10,9 persen. "Itu sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat untuk menutupi tak adanya kemauan politik pemerintah," ujarnya.
Di tengah polemik rencana ratifikasi, Nafsiah masih menyimpan harapan ratifikasi bisa dilakukan paling lambat akhir tahun ini. Dia berharap Presiden segera mengeluarkan peraturan presiden untuk ratifikasi.
"Kalau tak juga ratifikasi, saya benar-benar malu. Di Asia, hanya Indonesia yang belum meratifikasi," ujar dia. Adapun dari 57 anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), hanya Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi. Konferensi Tingkat Menteri Kesehatan ke-4 OKI di Jakarta, dua pekan lalu, juga membahas FCTC.
Namun harapan itu tak semudah bayangan Nafsiah. Hingga kini, rapat antar-kementerian untuk membahas langkah ratifikasi masih tersendat. Sekretaris Kabinet Dipo Alam bahkan belum bisa memastikan perkembangan pembahasan rencana ratifikasi. "Kami masih mendalaminya," kata Dipo.
0 comments