Karena Rokok Memang Harus Mahal

Oktober 11, 2018




Pernahkah temans memperhatikan fenomena di masyarakat kita, saat orang lebih memilih membeli rokok daripada membeli lauk, daging dan ikan? 


***


Pada suatu siang yang panas, saya pernah terlibat pembicaraan dengan seorang Bapak. Dari pembawaanya, ia terlihat sudah berumur. Kalau saya tebak sudah di atas 50 tahun. DI usianya yang tak lagi muda, Bapak itu masih membanting tulang untuk menghidupi keluarga. 


Saat bertemu dengan saya, ia tengah istirahat tak jauh dari teras sebuah toko. Kebetulan saya berdiri tak jauh dari tempat Bapak itu duduk. Ia menyandarkan sepatu kulit dan ikat pinggang yang menjadi barang dagangannya ke kaki kursi kayu. 

Tak lama, ia merogoh saku dan mengeluarkan sebungkus rokok. Bungkus itu sudah tak penuh lagi. Dengan anteng ia memantik korek dan menyalakan rokok. 

Dia sepertinya tersadar sedang saya perhatikan. Setelah menghisap rokok beberapa kali ia lalu menyapa.

“Duduk dulu Neng. Apa ga capek berdiri.”

“Tidak Pak. Terima Kasih, saya berdiri saja.”

Saat itu saya tengah menunggu ojek online pesanan datang. Saya memang sengaja berdiri biar tak berada terlalu dekat dengan Bapak yang merokok. Sungguh saya tak mau menjadi korban. Apalagi menderita akibat menjadi perokok pasif. 

Meski begitu, sapaan ramah dari si Bapak membuat saya tergelitik mengobrol dengan dia. Dari pembicaraan singkat siang itu saya tahu bahwa setiap hari ia berkeliling ke banyak tempat membawa sepatu kulit, dan ikat pinggang. Barang dagangan ia ambil dari temannya. 

Menurut si Bapak, setiap hari tak banyak yang bisa ia bawa pulang. Bila beruntung penghasilan bersih bisa Rp50 ribu. Namun bila sedang lengang, ia kadang hanya bisa menjual satu sepatu. Keuntungannya tidak lebih dari Rp20 ribu. Dengan pendapatan itulah ia menghidupi istri dan 5 anaknya. Dua di antaranya masih sekolah. 

Ah, bila dianggap rata-rata Bapak itu berpenghasilan Rp40 ribu sehari untuk menghidupi 7 kepala di Ibu Kota seperti Jakarta. Saya tak bisa membayangkannya. Belum lagi bila penghasilan itu juga harus dialokasikan untuk keperluan sekolah 2 anaknya. 

Dan hal yang paling membuat saya tak habis pikir, di antara minimnya penghasilan, ia masih dengan leluasa merokok. 

“Ya bagaimana Neng. Kalau tidak merokok, Bapak tidak bisa kerja. Bawannya malas aja. Tapi ini Bapak merokoknya sudah sedikit ini, sebungkus bisa buat 2 hari.”

What, sebungkus untuk dua hari disebut masih sedikit. Hmmm. Tapi begitulah faktanya. Saya juga tak mau berdebat dengan si Bapak kecuali melepas senyum kecut. Andai saya kenal dengan Bapak itu secara personal, atau ia adalah salah satu saudara saya, pasti sudah saya ceramahi panjang lebar. 

Sebungkus untuk dua hari menurut saya bukanlah jumlah yang sedikit. Itu artinya setiap hari ia menghabiskan 8-10 batang atau sekitar Rp 10 ribu untuk rokok. Dan bila sehari ia bisa mendapatkan pendapatan bersih Rp 30 ribu, maka 30 persen dari penghasilan hariannya sudah habis hanya untuk rokok. OMG!

Waktunya berhenti merokok

Bapak yang saya temui siang itu tentu saja hanyalah satu contoh. Faktanya, fenomena ini sudah biasa ditemui. Lebih miris lagi karena rokok sudah begitu berpengaruh dalam masyarakat tak hanya kelas ekonomi menengah atas tapi juga ekonomi bawah. 

Bukan rahasia lagi, ada banyak keluarga yang menghabiskan sebagian penghasilan untuk membeli rokok. Data tahunan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi hal ini dengan menyebutkan bahwa alokasi anggaran rumah tangga miskin nomor dua adalah untuk membeli rokok, yakni 12,4 persen. Itu artinya, uang dan pendapatan  lebih banyak dihabiskan untuk membeli rokok.

Lebih miris lagi, masih merujuk Data BPS, jumlah alokasi untuk rokok ini lebih besar dari kebutuhan untuk lauk pauk dan pendidikan. Data menunjukkan biaya konsumsi rokok sebanyak 4 kali lipat dari biaya pendidikan; dan 3 kali lipat dibanding biaya kesehatan. Hmmm…

Tingkat adiktif sebagian besar masyarakat Indonesia ini memang tak perlu diragukan lagi. Berdasarkan data World Health Organization, pada 2017 Indonesia menempati peringkat tiga dunia jumlah perokok terbanyak. Berada di bawah China dan India.

Data WHO menyebut, jumlah perokok di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi. Angka ini setara dengan 75 juta jiwa. Ah, andai semua perokok mengepung Jakarta, maka tenggelamlah Ibukota dengan jumlah populasi sebanyak itu. 

Dari dulu, bila membahas soal rokok, saya boleh jadi masuk pada kelompok anti rokok garis keras. Bersyukur suami dan keluarga besar juga berada di barisan anti rokok. Namun sayangnya, kami tak bisa menghindar sepenuhnya dari rokok, karena di mana-mana saya dan keluarga dengan mudah bisa terpapar perokok. 

Rasa jengah akan rokok tak melulu tentang besarnya anggaran yang keluar secara langsung untuk membeli rokok. Coba bayangkan bila harus bicara soal kesehatan. Tak butuh waktu panjang membeberkan fakta betapa rokok benar-benar menjadi ancaman serius terhadap kesehatan. Bahkan bila lagi-lagi dihubungkan dengan uang, bahaya rokok dengan segala varian penyakit turunannya terbukti menjadi penyebab anggaran kesehatan terkuras. 




Bisakah tingkat konsumsi rokok masyarakat dikurangi? 


Ini pertanyaan yang mungkin belum menemukan jawaban hingga kini. Memperkuat edukasi masyarakat akan bahaya rokok terhadap kesehatan nyatanya tidak berhasil menurunkan konsumsi rokok masyarakat. 

Beberapa tahun terakhir pemerintah gencar melakukan pengetatan terhadap iklan rokok. Mewajibkan perusahaan rokok memampang bahaya rokok di setiap kemasan, nyatanya tidak membuat orang jera. Kalau Cuma 7 siapa peduli. 

Tak sekali dua kali saya melihat orang-orang langsung memindahkan rokok yang sudah dibeli ke kemasan baru yang bebas dari iklan layanan masyarakat akan bahaya rokok. Kemasan modifikasi dan handmade kini banyak dijual. Atau sekadar menutup gambar ‘horor’ di kemasan dengan kertas apa susahnya. 

Strategi pemerintah menaikkan cukai rokok pun tak membuahkan hasil. Hanya berdampak pada pengusaha rokok dan tidak berpengaruh pada masyarakat. 

Faktanya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan kencenderungan masyarakat untuk merokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Penerapan berbagai aturan termasuk makin banyaknya tersedia kawasan tanpa asap rokok nyatanya tak menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Angkanya justru meningkat. 

Sumber: data riskesdas kemenkes


Adakah cara lain untuk mengurangi konsumsi Rokok?


Nah inilah dia. Tergelitik akan pertanyaan ini membuat saya bersemangat mendengarkan siaran dari Green Radio. Jumat pekan lalu, 11 Mei 2018, tema yang dihadirkan dalam talkshow ruang publik KBR.id menggugah minat saya untuk turut mendengar. 

Sejak beberapa tahun terakhir, KBR  terutama Green Radio memang menjadi radio favorit saya. Diskusi mengalir dan tema up to date membuka wawasan akan banyak hal. Dibahas dengan perspektif yang berbeda. 

Dan Jumat  pekan lalu tema yang diangkat adalah Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal. Saya perempuan, dan pasti saya setuju dengan tema ini. Hal yang membuat saya lebih bersemangat, diskusi pagi itu mjerupakan sesi pertama dari serial #RokokHarusMahal yang digelar jaringan radio KBR.id.  Tema yang sama akan dikupas tuntas dalam beberapa pekan hingga pertengahan Agustus nanti.  

Rokok Harus Mahal


Yap. Rokok harus mahal. Mungkin inilah cara efektif yang kita punya untuk menurunkan tingkat adiksi masyarakat Indonesia akan rokok. Paling tidak, bila rokok mahal, orang akan mulai berpikir ulang untuk membeli dan mengkonsumsi. Kalaupun tak sampai berhenti, paling tidak bisa mulai mengurangi tingkat konsumsi rokok. 

Kenapa rokok harus mahal? Karena sekarang harga rokok di Indonesia sangaaaaaattttt murah. Saking murahnya, anak-anak dan remaja dengan mudah bisa membelinya. Ditambah lagi di Indonesia rokok dengan mudah dan bebas diperjualbelikan di warung dan toko kelontong. 

Harga rokok Indonesia memang murah. Dua pembicara dalam talkshow Ruang Publik hari itu, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Ibu Nina Samidi dan Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IAKMI Riau - Ibu Dr Fauziah M.kes, kompak menyatakan hal itu. Dan sayapun sebagai pendengar 100 persen setuju. 




Menurut Bu Nina, saat ini harga rokok di Indonesia termasuk yang murah di dunia dan juga di ASEAN. Di Indonesia masih ada rokok yang dihargai Rp 5.000,- per bungkus. Selain itu rokok juga bisa dibeli ketengan dengan harga Rp 500,- per batang. 

Angka ini sangat jauh berbeda dibanding negara tetangga. Di Australia, rokok bahkan dihargai pada angka Rp300 ribu. Di Singapura harga rokok rata-rata Rp120 ribu berbungkus. Jauh banget kan bila dibanding harga rokok di Indonesia. 

Menaikkan harga rokok menurut Bu Nina menjadi salah satu cara efektif untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Beberapa negara yang sudah mempraktikkan kebijakan menaikkan harga rokok terbukti berhasil menekan angka konsumsi rokok. 

“Semua negara (ASEAN) menaikkan harga rokok secara signifikan, terutama Thailand. Tahun 2014, rokok di Thailand masih >15$/bungkus, sekarang sudah hampir 20$/bungkus. Setelah kenaikan tersebut, mereka mencatat bahwa jumlah perokok menurun. Jadi pengaruhnya efektif.”

Nina Samidi, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau

Murahnya harga rokok di Indonesia tak hanya dilihat dari segi nominal. Bu Fauziah mengatakan indikator bahwa rokok murah itu terlihat dari banyaknya anak dan remaja yang membeli rokok. Ketika bertugas di Kabupaten Kampar Riau, Bu Fauziah menyaksikan betapa anak SMP bahkan SD dengan mudah bisa membeli rokok. 

“Pada saat saya penyuluhan ke sekolah, itu anak SMP berpakaian sekolah di luar sekolah santai merokok. Bahkan kemarin barusan, saya melihat lagi di jalan raya, sangat miris kita melihatnya, anak berpakaian SMP dengan santainya mengisap rokok, karena apa? Kata mbak Nina tadi rokok bisa dibeli paket ringan.” 

Dr. Fauziah, M.Kes, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IAKMI Riau

Murahnya harga rokok di Indonesia, ternyata juga dimanfaatkan sebagian orang untuk menangguk untung lebih. Caranya dengan membeli rokok dalam jumlah banyak lalu menjualnya lagi. Di mana? Tidak di Indonesia tapi di luar negeri. Bahkan menurut pengalaman Bu Fauziah, rokok murah Indonesia justru diperjualbelikan di Arab Saudi oleh beberapa Jamaah Haji. Hal itu ia ketahui saat menjadi petugas haji pada 2008. 

Bu Fauziah bercerita, suatu kali saya melakukan pemeriksaan rutin ke kamar jamaah haji, ia menemukan rokok yang begitu banyak di dalam kamar, Ketika ditanya rokok itu untuk apa, ia mendapati jawaban bahwa rokok itu akan dijual. Alasannya harga rokok di Arab sangat mahal. Bisa sampai 6 kali lipat harga rokok di Indonesia. 


Perempuan Dukung #RokokHarusMahal


Sudah jadi rahasia umum, harga barang pokok dari hari ke hari terus naik. Sementara harga rokok? Ah sepertinya hanya merangkak di angka segitu-segitu juga. Dari zaman saya SMA, sampai beranak tiga harga rokok Rp500 per batang masih saja ditemukan. 

Kenapa harga rokok tak mahal? Menurut saya, karena bagi industri rokok yang mereka butuhkan adalah membuat masyarakat semakin adiktif. Jadi semakin masyarakat candu merokok maka akan semakin banyak rokok yang dikonsumsi. Jadi biarpun harga rokok segitu-segitu saja, tapi kalau jumlah yang dikonsumsi dan mengkonsumsi grafiknya terus naik maka bisa hitung sendiri nilai keekonomiannya. 

Lalu yang rugi siapa? Pertama jelas diri sendiri, para pecandu rokok yang akan terkena kantong kering dan menderita berbagai penyakit. Setelah itu siapa? Ya keluarga dan orang terdekat. Rugi karena menjadi korban, dibuat menjadi perokok pasif yang bahayanya tak kalah horror dibanding perokok aktif. Rugi karena pemasukan keluarga yang seharusnya bisa digunakan untuk pemenuhan gizi keluarga habis sia-sia untuk nikmat sesaat.. 

Perempuan pulalah yang sering menjadi korban karena banyak kepala rumah tangga yang tak memberi uang belanja cukup untuk kebutuhan harian. Bahkan dari diskusi Ruang Publik serial #RokokHarusMahal hari itu saya mendengar langsung testimoni dari masyarakat. 

Kepada pendengar Diskusi Ruang Publik KBR.id, Pak Bayu dari Cirebon menceritakan bagaimana akhirnya keluarga kakak Iparnya hancur karena rokok. 


Kakak ipar saya itu setiap hari marah-marah aja, sama suaminya karena setiap hari merokok. Padahal gajinya gak seberapa lah, sangat kecil, sehari tuh Rp. 20.000.00. harga rokok di Indonesia kan Rp. 20.000.00 lah satu bungkusnya. Jadi setiap hari marah-marah saja, akhirnya udah bubar sih, sudah cerai, gara-gara rokok itu. 

Kakak Ipar Pak Bayu dari Cirebon, tentu saja hanyalah satu kisah saja. Saya yakin di luar sana banyak perceraian dan kekerasan rumah tangga yang terpicu karena rokok. Bahkan, karena rokok pula seringkali orang tua rela memukul anaknya. Jadi masihkah kita mau berdiam dan membiarkan peredaran rokok makin merajalela? 

Bagi saya, membuat Rokok harus mahal adalah salah satu solusi efektif. Dan perempuan, harus mendukung rokok harus mahal karena empat hal

1. Karena perempuan adalah manajer dalam mengelola keuangan rumah tangga. Bila konsumsi rokok bisa dicoret dari daftar pengeluaran, maka akan lebih banyak hal positif yang bisa dialokasikan dari belanja keluarga

2. Karena perempuan adalah penggerak. Perempuan punya power untuk mendorong seluruh anggota keluarga untuk sehat dan terbebas dari bahaya rokok

3. Karena perempuan adalah lentera di rumah tangga. Yang bisa memberi pengaruh dan ‘memaksa’ seluruh anggota keluarga untuk berhenti merokok.

4. Karena perempuan Indonesia adalah juara, yang jumlahnya tak terkira, yang bila bersatu menyuarakan #RokokHarusMahal akan menggetarkan nusantara


Berapa harga rokok yang pantas? 


Dengan tegas saya akan bilang, bahwa rokok harus di atas Rp 100 ribu rupiah. Angka ini menurut saya masih jauh lebih kecil dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Namun untuk sekarang, paling tidak bila rokok sudah dihargai minimal Rp50 ribu per bungkus bagi saya sudah cukup untuk permulaan. 

Dengan harga #Rokok50ribu paling tidak orang akan berpikir ulang untuk membeli rokok. Dan selama masa jeda dan berpikir itu semoga mereka menemukan ilham, bahwa hidup akan baik-baik saja meski tidak merokok. Secara berangsur ketergantungan akan rokok pun akan menurun. 

Bila rokok mahal bagaimana nasib petani tembakau Indonesia? Hmmm… inilah dagelan yang sering dibawa setiap kali bicara soal rokok. Politisasi nasib petani untuk kepentingan industri rokok. 

Nyatanya, apakah petani tembakau kita saat ini sudah sejahtera? Apakah para pelaku industri menghargai hasil tembakau petani Indonesia dengan harga yang pantas. 

Dalam beberapa pertemuan dengan beberapa petani tembakau saya sering mendengar cerita bahwa mereka sering ditekan para pengumpul daun tembakau. Alasannya, produksi tembakau petani tidak bagus dan tidak berkualitas. Ya memang, sebenarnya kalau dipikir, tanah dan musim di Indonesia tidaklah terlalu bagus untuk tanaman tembakau. 

Bila harga rokok dinaikkan, pemerintah bisa membantu petani eks tembakau untuk beralih menanam tanaman lain yang lebih cocok dan lebih bernilai ekonomi. Dan kalaupun tetap ditanam tembakau, bukankan rokok bukanlah satu-satunya produk  industri hilir berbahan baku tembakau. Berbagai penelitian menyebut Tembakau sangat bagus untuk kosmetik dan kebutuhan rumah tangga. Kenapa kita tak mendorong pemerintah untuk menyiapkan industri diversifikasi produk olahan tembakau. 

Dan fakta lain, bahwa bahan baku utama produksi rokok dalam negeri bukan berasal dari tembakau petani lokal. Sebanyak 60 persen bahan baku rokok adalah impor dari Cina dan Brazil. Jadi, masihkah kita berpikir bahwa menaikkan harga rokok akan mematikan petani tembakau dalam negeri. 

Ah…. Lagi-lagi membahas rokok seperti mengurai benang kusut. Pelik dan susah. Tapi bukan berarti tanpa penyelesaian. Yang penting, semangat dan keyakinan bersama bahwa kita bisa bebas dari rokok. 


Yuk mari bersama Dukung #RokokHarusMahal
#Rokok50ribu

:-) 







You Might Also Like

2 comments

  1. Di tempat saya banyak pabrik rokok, jadi kampanyenya dari pemerintah adalah 'STOP ROKOK ILEGAL' bukan 'STOP MEROKOK'

    Tapi saya baru tau ini ada hari anti rokok sedunia. Mulai kapan nih?

    Satu lagi. Ngomongin soal berhenti merokok, saya setuju kalau selalu mbulet dan ujung2nya bawa-bawa nasib petani tembakau dan buruh rokok.

    Padahal di Surabaya pernah ada pabrik PMA yang tutup dan otomatis PHK besar-besaran. Mantan karyawannya ya bisa survive kok. Pindah kerja, buka bisnis, dll.

    Saya rasa sama halnya bila pabrik rokok ditutup.

    Bukankah kita manusia punya naluri dasar untuk bertahan hidup?

    BalasHapus
  2. Rokok seharusnya dibuat mahal agar masyrakat kelas bawah tidak terlalu banyak mongkonsumsinya.

    BalasHapus