Aku, Buku dan Rasa Ingin Tahu
April 27, 2018“Tidak perlu menjelaskan siapa dirimu kepada siapa pun. Karena yang menyukaimu tak butuh itu & yang membencimu tidak akan percaya.”
Ali Bin Abi Thalib RA
***
Saya bukanlah pencinta buku. Saya tak piawai mengoleksi buku, merawatnya dari rusak, menjaganya dari tercoret atau terlipat. Saya tak bisa mempertahankan keutuhan dan kemolekan buku seperti halnya seorang pencinta. Yang saya bisa hanya membaca dan menyerap isi di dalamnya.
Setelah selesai membaca, saya akan membiarkan buku-buku itu menemukan takdir barunya. Dipinjam untuk tidak dikembalikan, diambil tanpa pemberitahuan, dipajang di rak buku, atah bahkan berpindah kepemilikan dengan cara sah atau tidak.
Bahkan bila anak-anak –trio BiZa yang masih balita-- tertarik pada salah satu buku, mengambil dan membolak-balik, lalu membuka dan mencoretnya, hmmm, saya tak akan kuasa menolak.
Bagi saya, keinginan anak-anak untuk bermain dengan buku, bereksplorasi dan berimajinasi dengan buku merupakan cara lain untuk menghargai buku.
Bisa jadi sekarang mereka baru bisa mencoret dan membolak balik, menyusunnya jadi balok, jadi rail, dan jadi rumah-rumahan. Perlahan, dengan pendampingan dan pemberitahuan, toh dia akan tahu apa guna buku. Menyerap gambar dan ilmu di dalamnya. Paling tidak, menurut saya anak akan dekat dengan buku, dan tidak menjadi antipati.
Ya. Saya memang bukan pecinta buku. Saya hanyalah orang yang suka membaca, menyerap dan mengambil manfaat dari buku. Suka tenggelam dalam bentangan kata, hanyut dalam samudera aksara, tak jarang pula tersesat dalam pergulatan dialektika yang tersaji.
Barangkali, perlakuan saya yang menganggap buku sebagai bukan barang spesial ini yang membuat saya sulit menjawab bila ada yang bertanya buku apa yang paling berpengaruh dalam hidup. Bagi saya, semua buku yang sudah pernah singgah dalam hidup punya nilai masing-masing. Sama-sama memberi insight baru. Sama-sama menambah wawasan, memberi cara pandang baru. Hanya saja barangkali kadarnya yang berbeda-beda.
Saya pun sulit merangking. Ketika dijawab buku A, buku B juga tak kalang berpengaruh. Tergantung masa dan waktu buku itu dibaca. Buku Benturan antar Peradaban yang ditulis Samuel P Huttington bisa saja menjadi buku yang sangat menarik ketika saya pada usia di awal 20-an. Saat semangat berdialektika sedang nyala. Nyatanya, hari ini melihat sampul bukunya saja ogah.
Atau sebaliknya, buku tipis seperti Ya Allah Lindungi Suamiku yang biasa tak menarik minat tiba-tiba bisa menjadi sangat saya sukai ketika sedang berada jauh dari suami. Setiap ada waktu senggang selalu dibuka dan dikunyah isinya. Sambil mengangguk-angguk memastikan bahwa semuanya berjalan normal.
Tapi begitulah buku. Ia ada menjadi pengisi ruang. Dan seperti artikel karya Mak Sugi Siswiyanti yang dimuat di website Kumpulan Emak Blogger berjudul Pengaruh Buku Bacaan terhadap Pola Pikir, buku memengaruhi cara pikir seseorang.
Semakin banyak buku yang dibaca, akan semakin berbeda cara pandang seseorang terhadap suatu masalah. Dan biasanya, orang yang banyak membaca akan lebih banyak diam dan mendengar. Bukankah pepatah mengatakan Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
Dan buku, bagi saya selalu membawa pada pengetahuan baru. Ceruk yang sebelumnya tak tersentuh. Buku menyimpan berjuta keajaiban yang di dalamnya ditemukan mutiara.
Lewat buku pulalah saya bisa menemukan kata bijak. Pesan yang sangat mendalam dari khalifah Ali Bin Abi Thalib.
“Tidak perlu menjelaskan siapa dirimu kepada siapa pun. Karena yang menyukaimu tak butuh itu & yang membencimu tidak akan percaya.”
Ali Bin Abi Thalib RA
2 comments
Semakin banyak buku yang dibaca, akan semakin berbeda cara pandang seseorang terhadap suatu masalah. Dan biasanya, orang yang banyak membaca akan lebih banyak diam dan mendengar. Bukankah pepatah mengatakan Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
BalasHapusSetuju dengan pendapat itu mak
Jika kita mempunyai banyak pertanyaan dan rasa ingin tahu yang tinggi emang temen yang bisa mengatasiny adalah dengan banyak membaca buku
BalasHapus